Kategori Individual
Oleh : Zainun Mutadin, SPsi. MSi.
Jakarta, 29 Juli 2002
Pendidikan disiplin merupakan suatu proses bimbingan yang bertujuan menanamkan pola perilaku tertentu, kebiasaan-kebiasaan tertentu, atau membentuk manusia dengan ciri-ciri tertentu, terutama untuk meningkatkan kualitas mental dan moral (Sukadji, 1988). Di dalam keluarga pendidikan disiplin dapat diartikan sebagai metode bimbingan orang tua agar anaknya mematuhi bimbingan tersebut.
Setiap orangtua pasti berusaha untuk mengajarkan disiplin kepada anak-anaknya, dengan menanamkan perilaku yang dianggap baik dan menghindari perilaku yang dianggap tidak baik. Hal ini memang akan lebih mudah dilakukan jika anak sebagai seorang individu mematuhi kemauan orang tuanya. Namun demikian, tujuan utama dari disiplin bukanlah hanya sekedar menuruti perintah atau aturan saja. Patuh terhadap perintah dan aturan merupakan bentuk disiplin jangka pendek. Sedangkan tujuan pendidikan disiplin adalah agar setiap individu memiliki disiplin jangka panjang, yaitu disiplin yang tidak hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap aturan atau otoritas, tetapi lebih kepada pengembangan kemampuan untuk mendisiplinkan diri sendiri sebagai salah satu ciri kedewasaan individu. Kemampuan untuk mendisiplinkan diri sendiri terwujud dalam bentuk pengakuan terhadap hak dan keingian orang lain, dan mau mengambil bagian dalam memikul tanggung jawab sosial secara manusiawi. Hal inilah yang sesunguhnya menjadi hakekat dari disiplin.
Hukuman
Pembentukan disiplin diri merupakan suatu proses yang harus dimulai sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu pendidikan disiplin pertama-tama sudah dimulai dari keluarga (orangtua). Dalam kehidupan masyarakat secara umum, metode yang paling sering digunakan untuk mendisiplinkan warganya adalah dengan pemberian hukuman. Hal yang sama dilakukan juga oleh sebagian besar orangtua atau pun guru dalam mendidik anak-anak atau murid-murid. Kerugiannya adalah disiplin yang tercipta merupakan disiplin jangka pendek, artinya anak hanya menurutinya sebagai tuntutan sesaat, sehingga seringkali tidak tercipta disiplin diri pada mereka. Hal tersebut disebabkan karena dengan hukuman anak lebih banyak mengingat hal-hal negatif yang tidak boleh dilakukan, daripada hal-hal positif yang seharusnya dilakukan.
Dampak lain dari penggunaan hukuman adalah perasaan tidak nyaman pada anak karena harus menanggung hukuman yang diberikan orangtuanya jika ia melanggar batasan yang ditetapkan. Tidak mengherankan jika banyak anak memiliki persepsi bahwa disiplin itu adalah identik dengan penderitaan. Persepsi tersebut bukan hanya terjadi pada anak-anak tetapi juga seringkali dialami oleh orangtua mereka. Akibatnya tidak sedikit orangtua membiarkan anak-anak "bahagia" tanpa disiplin. Tentu saja hal ini merupakan suatu kekeliruan besar, karena di masa-masa perkembangan berikutnya maka individu tersebut akan mengalami berbagai masalah dan kebingungan karena tidak mengenal aturan bagi dirinya sendiri.
Beberapa Saran
Walaupun dalam merespon perilaku setiap individu akan memiliki cara-cara berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada beberapa hal pokok yang dapat diacu sebagai dasar merespon setiap perilaku dalam rangka pendidikan disiplin, diantaranya adalah sebagai berikut.
a. Berkelanjutan
Pendidikan merupakan suatu proses berkelanjutan, artinya disiplin tidak hanya diberikan setelah anak masuk sekolah atau setelah masa remaja, tetapi harus sudah dilatih sejak anak baru dilahirkan ke dunia ini. Sejak anak membutuhkan kedekatan dengan orang dewasa, membutuhkan kasih sayang orang dewasa. Orang tua dapat memulai mendidik disiplin dengan menunjukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang baik dan mana yang jelek. Sebagai contoh agar anak dapat disiplin dalam buang air, maka orang tua harus secara berkelanjutan dan konsisten dalam membersihkan dan mengganti pakaian sang bayi, ia di kenalkan pada situasi yang menyenangkan dan tahu apa yang harus dilakukan dengan semestinya sejak dini. Dengan perlakuan orang tua yang demikian akan meringankan tugas pada masa berikutnya karena anaknya tidak akan mengenal ngompol.
Selain itu pendidikan disiplin tidak hanya ditekankan pada waktu anak membuat perilaku yang tidak diinginkan atau pada waktu anak gagal mencapai harapan orang tua. Perilaku-perilaku yang diinginkanpun perlu (meski tidak harus terus-menerus), mendapatkan pengakuan, persetujuan atau penghargaan. Jika anak sejak bayi telah dilatih untuk berdisiplin maka pada masa remaja ia akan memiliki disiplin diri yang cukup sehigga akan mampu menahan segala godaan yang datang dari teman maupun lingkungan sekitarnya.
b. Autoritatif
Pendidikan disiplin sebaiknya tidak dilakukan dengan cara yang terlalu otoriter, tetapi juga tidak terlalu memperbolehkan semuanya (permisif). Cara yang tepat dalam pendidikan disiplin bagi remaja disebut dengan istilah moderatnya autoritatif : fleksibel, tetapi bila perlu tegas. Dalam menerapkan cara disiplin yang permisif (dapat dikatakan sebagai mendidik tanpa disiplin) cenderung menghasilkan anak remaja yang manja, semena-mena, anti sosial dan cenderung agresif. Sebaliknya, disiplin yang keras yang terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja. Hal ini dapat membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif bahkan ada pula yang pada akhirnya melampiaskan kemarahannya pada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial akan lebih berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutam. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Ada pula yang menimbulkan pembelotan, hal ini terjadi terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar. Cotoh: remaja dilarang untuk keluar bermain, tetapi di dalam rumah ia tidak melakukan apa-apa dan tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka.
c. Beri Batas-Batas yang Jelas
Batas-batas tentang boleh atau tidak boleh haruslah jelas, misalnya kapan anak boleh bermain, dimana dan dengan siapa sehingga anak tidak menganggu orang lain dan menghindarkan anak dari kecelakaan. Sejak masa kanak-kanak orangtua harus sudah memberikan batasan-batasan tersebut. Misalnya: anak boleh mengambarkan dengan pensil warna dikertas-kertas, dipapan yang telah ditentukan, tetapi tidak boleh di buku pelajaran kakaknya, buku ayah atau ibu, dan tidak boleh menggambar di tembok.
Penting bagi orangtua untuk mengingat bahwa batasan dan fasilitas yang diberikan oleh orang tua, hendaknya memenuhi kriteria tertentu: diperlukan, masuk akal, diberikan dengan penuh ketulusan dan kebaikan hati, dan secara konsisten sesuai kematangan anak. Fasilitas dianggap diperlukan bila anak dapat mencapai kemajuan yang lebih baik jika adanya fasilitas tersebut. Batas dan fasilitas dianggap masuk akal bila memenuhi pertimbangan kesehatan dan keadilan. Kebaikan hati adalah keinginan dalam memenuhi kebutuhan anak untuk berkembang seoptimal mungkin tanpa melampaui kemampuan anak mengontrol diri. Fasilitas yang konsisten dengan kematangan umum anak berarti tergantung pada perkembangan kecerdasan dan kematangan anak. Makin berkembang kematangan anak akan makin dapat diperluas batas-batas dan fasilitas. Dengan kata lain pada remaja luasnya batas tersebut sangatlah ditentukan kematangan yang telah dicapai oleh remaja tersebut.
d. Konsisten & Fleksibel
Setelah batas-batas ditentukan, maka orangtua harus mengupaya kesepakatan dengan anaknya untuk saling mematuhi apa yang telah ditentukan. Walau demikian, batas-batas yang ditentukan ini harus terus direvisi sesuai dengan perkembangan anak dan anak telah mencapai remaja maka penentuannya harus mengikut sertakan masukan dari remaja. Dengan cara tersebut diharapkan dapat membantu remaja untuk lebih cepat mengembangkan tanggung jawab atas disiplin diri.
Meski batas-batas telah ditetukan ada kalanya keadaan memaksa dan batas tersebut terpaksa dilanggar. Dalam kondisi ini orangtua perlu segera memberitahu dan menjelaskan pada remaja bahwa keadaan tersebut dapat dipahami dan diterima oleh orangtua namun bukan berarti bahwa batasan yang telah ditentukan tidak berlaku lagi. Sikap dan komunikasi orangtua semacam ini akan dapat mengurangi rasa berdosa, penyesalan bahkan rasa sakit hati yang tidak diperlukan.
e. Menjelaskan Secara Lengkap
Terkadang seorang anak berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan orangtua dengan alasan karena ia tidak tahu. Untuk mengatasi hal tersebut maka orangtua sangat perlu untuk mengupgrade diri sehingga mampu menjelaskan secara lengkap apa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan, mengapa hal itu boleh/tidak, apa dampaknya jika dilakukan/tidak dilakukan, dsb. Jangan lah menganggap bahwa anak selalu mempunyai pertimbangan sematang orangtua (meski harus diakui ada remaja yang jauh lebih matang cara pandang/pikir dari orangtuanya). Kesalahan yang seringkali dilakukan orangtua adalah terlalu menganggap anaknya sudah mampu untuk mempertimbangkan segala sesuatu. Apalagi pada masa remaja, sang anak cenderung terlihat sangat mandiri. Banyak orangtua yang lupa bahwa anak remajanya masih membutuhkan penjelasan dan bimbingan dari orangtua, meski mereka terlihat enggan untuk mengakuinya. Dalam hal ini, justru orangtua lah yang seharusnya segera sadar dan mempertimbangkan bahwa anaknya masih belum tahu dan sesegera mungkin mengajarkan hal-hal tersebut kepada remaja tersebut. Bukankah orangtua yang seharusnya lebih memahami anak-anaknya secara rinci.
f. Berlatih
Orangtua hendaknya mengarahkan anak untuk mengembangkan pola-pola kebiasaan yang baik. Kebiasaan-kebiasaan baik tersebut harus sudah dilatih terus-menerus sejak usia dini, misalnya anak dibiasakan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, mematuhi jadwal belajar dan bermain, tidur dan bangun pagi secara teratur, dsb. Hal ini perlu, sebab setiap kebiasaan dan pola perilaku yang terbentuk pada masa kanak-kanak akan banyak mempengaruhi kebiasaannya kelak ketika dia dewasa.
g. Hukuman
Hukuman yang mendidik adalah hukuman yang menyadarkan pihak yang bersalah dalam hal ini remaja, bahwa hal yang baru saja terjadi hendaknya tidak diulangi karena hal tersebut tidak disetujui orang tua. Hukuman haruslah dipandang sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar batasan-batasan yang ditetapkan. Hukuman tidak harus selalu menyakitkan, dan jangan dijadikan sebagai luapan kemarahan atau penyakuran emosi dari si penghukum (orangtua). Jika harus memberikan hukuman, hukumlah anak sesuai dengan tingkat pemahaman anak tentang hukuman tersebut. Hukuman yang terlalu berat akan mengakibatkan anak mendendam, dan bila ia tidak dapat membalaskan dendamnya akan terjadi pengalihan dalam bentuk kekerasan terhadap orang lain (tawuran) dan vandalism (mis. Coret-coret, merusak properti orang lain). Penting diperhatikan dalam pemberian hukuman adalah penjelasan mengapa anak terpaksa dihukum, hukuman harus dilakukan segera setelah perilaku terjadi, dan jangan melakukan hukuman fisik, seperti memukul atau menampar,dsb, terhadap anak-anak.
h. Komunikasi
Dalam kenyataan sehari-hari, banyak masalah yang berhubungan dengan disiplin sebenarnya dapat diselesaikan dengan menggunakan komunikasi timbal balik yang efektif antara anak dan orangtua. Dalam hal ini cara-cara berkomunikasi akan memegang peranan penting dalam pembentukan disiplin. Komunikasi dalam bentuk sindiran, hinaan, merendahkan harga diri orang lain hendaknya digunakan seminimal mungkin, bahkan harus dihindari sama sekali. Anak dan remaja sangatlah peka terhadap hal ini, dan dapat sakit hati karenannya. Jika cara-cara tersebut yang digunakan untuk mendisiplinkan anak, cara-cara demikian akan cenderung ditiru dalam hubungan interpersonal dengan orang-orang lain yang akibatnya dapat merugikan diri sang anak maupun orang lain.
http://www.e-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=387
Responses
0 Respones to "Disiplin"
Posting Komentar